Oktober 16, 2008

Kenang - Kenangan Hidup >> Part 1b

Saya ingat benar pernah dalam suatu perjalanan kapal, saya bertemu dengan sepasang suami istri yang umurnya berkisar 50 tahun.
Mungkin karena 'kondisi penumpang yang sangat berjubel' mereka tidak kebagian tempat tidur.
Karena 'tidak tega' saya menawarkan tempat tidur yang saya peroleh dengan susah payah tadi, dan membujuk 'teman seranjang' untuk mengikhlaskannya.

Nama 'mendadak teman itu' Andi Muhammad Hatta, seorang lelaki seumur yang berasal dari Takkalar.
Dengan riang, kami bertukar tempat, dan membantu memindahkan barang kedua orang tua itu.
Jadi pada malam itu resmi kami hijrah dari kasur yang hangat ke tikar yang dingin, namun kami tetap riang.

Ternyata 'pengorbanan' kami sepertinya dibayar mahal oleh kedua orang tua tadi. Hampir setiap saat beliau mengantarkan kami makanan, minuman dan buah-buahan. Saya berusaha mencegahnya, dan mengingatkan mereka bahwa merekapun memerlukannya.
Namun sepertinya mereka tidak perduli dan tetap mengirimkan kami makanan itu setiap harinya dan saya yakin semua yang diberikan pada kami adalah makanan yang 'berkelas dan mahal'.
Saya jadi berfikir sendiri karena ini memperkuat dugaan 'mereka bukan orang sembarangan' dilihat dari koper yang mereka miliki, pakaian yang mereka pakai, dan makanan yang mereka punya'.
Diakhir cerita barulah terungkap ketika berpisah, penumpang istimewa itu adalah Bupati Maluku Tengah, yang tidak kebagian tiket pesawat bahkan 'tiket kelas I-IV' di kapal itu.
Sejak itu, persahabatan kami terjalin, kalau bertandang ke Masohi, Ibukota Kabupaten Maluku tengah' saya tidur dirumahnya dan diperlakukan layaknya seorang anak. Alhamdulillah ya ALLAH.

Apapun kapal yang saya tumpangi, merapat di pelabuhan Yos Sudarso Ambon, selalu lewat tengah malam.
Namun Ibu senantiasa sabar menanti di pelabuhan menjemput, dan ketika melihat saya celingak-celinguk ...
Ibu tersenyum tulus memeluk, air matanya kembali membasahi pipinya yang mulai mengerut dimakan jaman.
Pertanyaan pertama yang selalu beliau sampaikan, 'Ref, kamu sehat nak? Sudah makan?' dan pertanyaan itu ternyata selalu beliau tanyakan hingga kini ketika saya pulang dari kantor bekerja dan ketika sampai kerumah telah terhidang semua makanan kesukaan saya,
ikan gulai, rendang dan sup buatan Ibu.
Jadi apakah ada alasan bagi saya untuk mengatakan 'ah' pada Ibu ?
apakah ada ?

Kembali ke awal, tahun 1999 saya tiba di Ambon beberapa hari sebelum Idul Fitri.
Namun tahun ini akan menjadi catatan spektakuler sepanjang hayat saya di dunia.
Waktu itu kami telah memiliki rumah lain di perkampungan muslim.
Nama Desa itu 'Tulehu' terletak di kecamatan salahutu, 50 Kilometer dari Kota Ambon.
Sedangkan rumah yang selama ini kami tempati berada di perkampungan Kristen, bahkan kami adalah satu-satunya warga muslim di
perkampungan itu. Namun walau kami satu-satunya muslim, namun keluarga kami sangat dihormati di tawiri, dihormati bukan karena kekayaan namun karena pergaulan dan rasa cinta Ibu pada mereka.
Semua orang dengan senang hati membantu Ibu, bahkan tanpa diminta. Setiap musim durian dan musim apapun mereka selalu mengantarkan beberapa ke rumah kami. Rupanya Ibu sudah menjadi Ibu buat mereka, dan ini adalah suatu alasan bagi saya untuk tenang belajar di Bogor, karena Ibu dijaga oleh orang sekampung !

Demikianpun di tempat yang baru, Tulehu.
Ibu seakan menjadi Ibu orang sekampung, sepanjang jalan beliau disapa oleh hampir semua orang dengan penuh rasa hormat.
Rumah kami sama dengan rumah orang sekitar, sangat sederhana ber-dindingkan kayu dan berlantaikan semen yang kasar.
Terletak persis di depan masjid, dan rupanya menjadi impian Ibu, dimanapun beliau berada, beliau selalu ingin tinggal di dekat masjid.
Ibu memang suka menghabiskan malam dan subuh di masjid. Kalaupun di rumah beliau melakukan Tahajjud di sepertiga malam terakhir.
Bersambung


Fr: eri (uje_jamaah@yahoogroups.com)

Tidak ada komentar: