Oktober 16, 2008

Kenang - Kenangan Hidup >> Part 1a

Ambon 19 Januari 1999, Idul Fitri Ref......

Ketika itu usia saya masih tergolong belia, baru 22 tahun. Tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Institut Pertanian Bogor
dalam tahap menyelesaikan skripsi.
Lebaran itu adalah hari yang begitu ditunggu, dan biasanya perkuliahan dilalui dengan penuh ketidaksabaran ingin segera
pulang menemui Ibu, ayah, saudara, tetangga dan temen-teman bergelut
dimana bersama mereka saya menghabiskan masa kecil dan tertawa lepas selepas lautan lepas.
Dan untuk sampai ke rumah pada mas aitu butuh waktu dan perjuangan yang 'tidak mudah' karena harus berjuang mendapatkan tiket
kapal, yang jarak tempuhnya empat hari - empat malam dari Tanjung Priuk ke Pelabuhan Yos Sudarso Ambon dengan kapal laut.
Pada masa itu mudik dengan pesawat adalah sebuah kemewahan yang nyaris tidak terjangkau pada kalangan mahasiswa yang berasal dari kalangan biasa saja seperti saya, dan kalaupun ada yang pulang dengan Garuda, Merpati, Mandala ataupun Sempati Air,
maka sungguh dia pasti berasal dari kalangan yang sangat terpandang di Ambon.
Namun bagi saya perjalanan itu menjadi 'amazing experience' karena mendapatkan begitu banyak teman baru dari berbagai ragam kalangan dan setiap kapal merapat di kota pelabuhan yang disinggahi, Surabaya, Makassar dan Bau Bau.
selalu ada waktu 2-4 jam bagi kami untuk berpesiar bersama orang-orang yang baru dikenal dengan penuh persahabatan.
Bersama-sama melihat kota-kota yang permai itu, beli baju di Surabaya, Beli markisa di Makassar dan Makan ikan bakar yang segar dan lezat di bau-Bau.
Bahkan 'perkenalan' itu berpeluang besar menjadi sebuah persahabatan bahkan persaudaraan yang sangat ikhlas, tercermin dari surat-menyurat dan hubungan telepon yang dilakukan pasca pertemuan.
Bahkan juga suatu masa terealisasi tulusnya persaudaraan itu dengan silaturahim yang terjalin ketika saling berkunjung, rumah mereka
adalah rumah saya dan sebaliknya.
Indah bukan ?

Kapal yang ditumpangi pada masa itu 'bukanlah kapal sembarangan' karena pada masanya kapal itu merupakan kebanggaan setiap orang yang menaikinya. Bahkan kapal itu adalah kebanggan negeri ini karena kemewahan dan kegagahannya.
Kebesaran 'armada' itu tergambar dari nama-namanya yang diambil dari nama-nama gunung tertinggi di negeri ini,
KERINCI, KAMBUNA, DOBONSOLO dan RINJANI.
Dan dikapal itu ada kelas-kelasnya, dan masing-masing kelas dibedakan dari jumlah penumpang dalam kamar, fasilitas layanan dan makan.
Dan adalah kenyataan bahwa 'peng-kelasan' di kapal juga mempengaruhi pergaulan di kapal.
Kelas terbaik di kapal itu adalah kelas I, dengan kamar yang sangat luas, berpenghuni dua orang, kamar mandi pribadi, televisi, dan fasilitas makan pagi-siang-malam yang bisa diantar ke kamar.
Kelas yang paling rendah adalah Kelas IV, dengan kamar yang dihuni oleh 8 orang, kamar mandi d luar yang digunakan 'berjamaah' dengan kamar yang lain, namun makan di ruang makan yang cukup baik tanpa antri.
Dibawah kelas IV ada sebuah kelas namanya Kelas Ekonomi, dimana penumpangnya ditempatkan di sebuah barak mirip militer, dan satu barak itu ditempati kira-kira 400 orang, dan penumpang kelas ekonomi ini juga diberi makan layaknya tahanan, ngantri berjejer ratusan meter melingkar dan piring makannya pun persis seperti piring makanan tahanan.
Untuk mendapatkan makan saja perlu antri paling sebentar 1 jam Dan pada jam-jam mandi suasana kamar mandinya persis seperti suasana permandian 'di pancuran'
Rame! & Jorok!
Terbayang hiruk pikuknya kehidupan selama 4 hari - empat malam disana. Kasar, kotor dan keras !
Karena setiap orang harus menjaga barangnya sendiri, dan lenggah sedikit berarti kehilangan harta.
Jadi sangat beruntung orang yang berangkat tidak hanya sendiri, apalagi serombongan !
Dan setiap waktu ketika jenuh melanda bisa jalan-jalan mengelilingi kapal tanpa kuatir barang hilang.

Pada masa itu, kami keluarga yang cukup berada dan terpandang di desa Tawiri, Kecamatan teluk Ambon Baguala, Kotamadya Ambon.
Jaraknya 40 kilometer engan perjalanan darat, namun kurang dari 3 Km dari perjalanan laut karena diseberang teluk dimana kami tinggal adalah Kota Ambon.

Dibanding temen-teman seasal yag bahkan ada tidak bisa pulang sampai lulus karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan, saya termasuk anak yang beruntung. Sesulit-sulitnya keadaan, Ibu selalu mengirimkan saya uang untuk pulang ke ambon setiap liburan semester dan Idul Fitri.
Betapa Ibu, tahu bahwa anak lelakinya ini berusaha melewati hari-hari menahan rindu padanya.

Hampir setiap dua minggu Ibu mengirim surat bercerita tentang keadannya yang 'selalu baik-baik' saja dan menceritakan betapa beliau sangat rindu pada saya. Membaca surat Ibu benar-benar selalu 'mengharu biru' karena ketika membaca surat Ibu, seakan-akan Ibu bicara langsung pada saya dan menatap dengan penuh rindu dan cinta.
Dan sebulan sekali Ibu mengirimi saya rendang, dan setiap memakannya, air mata mengalir karena 'rendang' itu adalah makanan yang jarang ada dirumah dan memakannya adalah sebuah kemewahan.
Memang harus saya akui bahwa saya sangat mengasihi perempuan berhati mulia itu, dan sepanjang hidup saya selalu merindukannya.
Tak ada yang lebih membahagiakan saya selama hidup di Bumi ini kecuali bertemu dengan Ibu sepanjang hari, mencium tangan, pipi dan keningnya ketika pamit kerja dan melihatnya tersenyum bahagia.
Kelak jika ada rezeki dari ALLAH, saya ingin mengajak Ibu naik haji, berkunjung ke rumah ALLAH, dan di depan 'rumah-NYA saya berdoa,
'Ya ALLAH, panjangkan umurnya, bahagiakanlah hidupnya, jauhkanlah dari sakit dan susah'.

Ibu tahu kondisi kapal, maka Ibu selalu mengirimkan uang untuk membeli tiket kelas IV yang waktu itu seharga Rp 152 Ribu,
kalo dibanding Kelas Ekonomi Rp 66 Ribu cukup signifikan berbeda.
Sebetulnya sangat mewah karena makannya teratur tak perlu antri, kamar mandinya bersih, tempat tidur yang 'tak berebut' dan yang penting barang bawaan aman karena setiap orang diberi lemari yang memiliki kunci.
Namun hal yang satu ini, saya terpaksa tidak menuruti keinginan Ibu dan lebih memilih bejubel naik Kelas Ekonomi, karena saya sangat tahu betapa uang itu penuh dengan keringat dan air mata Ibu.

Dan selisihnya Rp 96Rb bisa saya belikan oleh-oleh buat Ibu, dan saudara-saudara saya.
Hingga kini Ibu tak pernah tahu hal ini, karena memang saya simpan rapat-rapat. Namun bukan hanya itu, saya sangat menikmati kebersamaan di barak itu, mengenal banyak orang, melatih kesabaran puasa dengan menjadi bagian dari antrian makanan yang beratus meter itu, saat sahur dan berbuka.
Bersilaturahim dengan semua umur, dan alhamdulillah saya menikmati perjalanan itu dan 'menjadi artis' karena selalu dikerubutin penumpang, terutama kalangan Ibu-Ibu dan para gadis.

' Keajaiban-Keajaiba n' pun muncul di barak itu.
Menjadi kesayangan semua orang, para Ibu selalu menawarkan makanan yang mereka bawa dan kalaupun antri, banyak yang mau mengantrikan makanan buat saya.
Barang-barang bawaan saya pun aman, karena dijaga oleh empat ratus orang !
Hahahaha ...

fasilitas yang jauh melebihi kelas apapun di kapal itu, karena ketika sahur, berbuka dan taraweh selalu dijalani bersama-sama dengan orang-orang yang 'mendadak saudara'.
Hari-hari itu indah dalam kenangan, penuh dengan tawa, canda dan cerita. Dari sana saya banyak belajar tentang hidup yang sesungguhnya, dan belajar bagaimana mengatasi setiap problema hidup.
Bersambung


Fr: eri (uje_jamaah@yahoogroups.com)

Tidak ada komentar: