Agustus 19, 2008

Syukur dan Sabar

Fren, sampai di sini mungkin kita masih penasaran, apa bisa orang
yang ditimpa musibah seperti Arthur gembira seperti itu? Apa ini
tidak sedikit so munafik? Mungkin saja lisan dan raut mukanya tampak
gembira, tapi hati kecilnya tetap tak bisa memungkiri rasa sedihnya
menanggung derita tak terkira?

UJE setuju hati kecil tak bisa diingkari. Dan ketika kita ditimpa
musibah, dirundung duka, tentu hati kecil kita merasa sedih. Hanya
saja, rasa sedih itu tidak sampai mengalahkan rasa syukurnya. Dengan
kata lain, rasa syukurnya lebih atau jauh lebih besar dari rasa
sedihnya, sehingga dia bisa tampak tetap gembira.

Jadi, rasa gembira Arthur bukan sebuah kemunafikan, melainkan gejala
dari menangnya rasa syukur atas rasa sedihnya.

Ucapan yang biasa Nabi SAW ucapkan ketika susah, yakni alhamdulillah
ala kulli hal (Segala puji bagi Allah bagaimanapun keadaannya),
jelas membersitkan bahwa hati kecil beliau pun tetap merasa sedih
atas kesusahan yang menimpa beliau, namun rasa syukurnya tang lebih
dominan tetap mendorong hati beliau untuk meluncurkan kata-kata
pujian seperti ini. Jadi sekali lagi masalahnya bukan hati kecil
yang bersedih atau tidak, tapi soal apakah rasa syukur seseorang itu
bisa mengalahkan rasa sedihnya atau tidak.

Untuk sampai pada tingkat ini memang sangat berat, dan perlu terus
dan terus berlatih. Karena itu agama pun tidak mewajibkan tingkat
mental seperti ini. Agama menganjurkan, kalau kita tidak bisa
lapang, ridha atau rela ketika ditimpa musibah, minimal kita bisa
sabar menerimanya. Untuk sabar seperti ini pun perlu proses
pembelajaran yang terus menerus.

Sebenarnya dalam rasa sabar sendiri sudah terkandung rasa pasrah
atau rela menerima takdir, hanya kadarnya saja mungkin yang berbeda.
Pada tingkat syukur atau ridha ketika menderita, rasa rela sangat
besar dan amat dominan. Sedang pada tingkat sabar, rasa rela itu
cukup dominan.

UJE

www.ujecentre.com

Tidak ada komentar: