Oktober 16, 2008

Kenang - Kenangan Hidup >> Part 1b

Saya ingat benar pernah dalam suatu perjalanan kapal, saya bertemu dengan sepasang suami istri yang umurnya berkisar 50 tahun.
Mungkin karena 'kondisi penumpang yang sangat berjubel' mereka tidak kebagian tempat tidur.
Karena 'tidak tega' saya menawarkan tempat tidur yang saya peroleh dengan susah payah tadi, dan membujuk 'teman seranjang' untuk mengikhlaskannya.

Nama 'mendadak teman itu' Andi Muhammad Hatta, seorang lelaki seumur yang berasal dari Takkalar.
Dengan riang, kami bertukar tempat, dan membantu memindahkan barang kedua orang tua itu.
Jadi pada malam itu resmi kami hijrah dari kasur yang hangat ke tikar yang dingin, namun kami tetap riang.

Ternyata 'pengorbanan' kami sepertinya dibayar mahal oleh kedua orang tua tadi. Hampir setiap saat beliau mengantarkan kami makanan, minuman dan buah-buahan. Saya berusaha mencegahnya, dan mengingatkan mereka bahwa merekapun memerlukannya.
Namun sepertinya mereka tidak perduli dan tetap mengirimkan kami makanan itu setiap harinya dan saya yakin semua yang diberikan pada kami adalah makanan yang 'berkelas dan mahal'.
Saya jadi berfikir sendiri karena ini memperkuat dugaan 'mereka bukan orang sembarangan' dilihat dari koper yang mereka miliki, pakaian yang mereka pakai, dan makanan yang mereka punya'.
Diakhir cerita barulah terungkap ketika berpisah, penumpang istimewa itu adalah Bupati Maluku Tengah, yang tidak kebagian tiket pesawat bahkan 'tiket kelas I-IV' di kapal itu.
Sejak itu, persahabatan kami terjalin, kalau bertandang ke Masohi, Ibukota Kabupaten Maluku tengah' saya tidur dirumahnya dan diperlakukan layaknya seorang anak. Alhamdulillah ya ALLAH.

Apapun kapal yang saya tumpangi, merapat di pelabuhan Yos Sudarso Ambon, selalu lewat tengah malam.
Namun Ibu senantiasa sabar menanti di pelabuhan menjemput, dan ketika melihat saya celingak-celinguk ...
Ibu tersenyum tulus memeluk, air matanya kembali membasahi pipinya yang mulai mengerut dimakan jaman.
Pertanyaan pertama yang selalu beliau sampaikan, 'Ref, kamu sehat nak? Sudah makan?' dan pertanyaan itu ternyata selalu beliau tanyakan hingga kini ketika saya pulang dari kantor bekerja dan ketika sampai kerumah telah terhidang semua makanan kesukaan saya,
ikan gulai, rendang dan sup buatan Ibu.
Jadi apakah ada alasan bagi saya untuk mengatakan 'ah' pada Ibu ?
apakah ada ?

Kembali ke awal, tahun 1999 saya tiba di Ambon beberapa hari sebelum Idul Fitri.
Namun tahun ini akan menjadi catatan spektakuler sepanjang hayat saya di dunia.
Waktu itu kami telah memiliki rumah lain di perkampungan muslim.
Nama Desa itu 'Tulehu' terletak di kecamatan salahutu, 50 Kilometer dari Kota Ambon.
Sedangkan rumah yang selama ini kami tempati berada di perkampungan Kristen, bahkan kami adalah satu-satunya warga muslim di
perkampungan itu. Namun walau kami satu-satunya muslim, namun keluarga kami sangat dihormati di tawiri, dihormati bukan karena kekayaan namun karena pergaulan dan rasa cinta Ibu pada mereka.
Semua orang dengan senang hati membantu Ibu, bahkan tanpa diminta. Setiap musim durian dan musim apapun mereka selalu mengantarkan beberapa ke rumah kami. Rupanya Ibu sudah menjadi Ibu buat mereka, dan ini adalah suatu alasan bagi saya untuk tenang belajar di Bogor, karena Ibu dijaga oleh orang sekampung !

Demikianpun di tempat yang baru, Tulehu.
Ibu seakan menjadi Ibu orang sekampung, sepanjang jalan beliau disapa oleh hampir semua orang dengan penuh rasa hormat.
Rumah kami sama dengan rumah orang sekitar, sangat sederhana ber-dindingkan kayu dan berlantaikan semen yang kasar.
Terletak persis di depan masjid, dan rupanya menjadi impian Ibu, dimanapun beliau berada, beliau selalu ingin tinggal di dekat masjid.
Ibu memang suka menghabiskan malam dan subuh di masjid. Kalaupun di rumah beliau melakukan Tahajjud di sepertiga malam terakhir.
Bersambung


Fr: eri (uje_jamaah@yahoogroups.com)

Kenang - Kenangan Hidup >> Part 1a

Ambon 19 Januari 1999, Idul Fitri Ref......

Ketika itu usia saya masih tergolong belia, baru 22 tahun. Tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Institut Pertanian Bogor
dalam tahap menyelesaikan skripsi.
Lebaran itu adalah hari yang begitu ditunggu, dan biasanya perkuliahan dilalui dengan penuh ketidaksabaran ingin segera
pulang menemui Ibu, ayah, saudara, tetangga dan temen-teman bergelut
dimana bersama mereka saya menghabiskan masa kecil dan tertawa lepas selepas lautan lepas.
Dan untuk sampai ke rumah pada mas aitu butuh waktu dan perjuangan yang 'tidak mudah' karena harus berjuang mendapatkan tiket
kapal, yang jarak tempuhnya empat hari - empat malam dari Tanjung Priuk ke Pelabuhan Yos Sudarso Ambon dengan kapal laut.
Pada masa itu mudik dengan pesawat adalah sebuah kemewahan yang nyaris tidak terjangkau pada kalangan mahasiswa yang berasal dari kalangan biasa saja seperti saya, dan kalaupun ada yang pulang dengan Garuda, Merpati, Mandala ataupun Sempati Air,
maka sungguh dia pasti berasal dari kalangan yang sangat terpandang di Ambon.
Namun bagi saya perjalanan itu menjadi 'amazing experience' karena mendapatkan begitu banyak teman baru dari berbagai ragam kalangan dan setiap kapal merapat di kota pelabuhan yang disinggahi, Surabaya, Makassar dan Bau Bau.
selalu ada waktu 2-4 jam bagi kami untuk berpesiar bersama orang-orang yang baru dikenal dengan penuh persahabatan.
Bersama-sama melihat kota-kota yang permai itu, beli baju di Surabaya, Beli markisa di Makassar dan Makan ikan bakar yang segar dan lezat di bau-Bau.
Bahkan 'perkenalan' itu berpeluang besar menjadi sebuah persahabatan bahkan persaudaraan yang sangat ikhlas, tercermin dari surat-menyurat dan hubungan telepon yang dilakukan pasca pertemuan.
Bahkan juga suatu masa terealisasi tulusnya persaudaraan itu dengan silaturahim yang terjalin ketika saling berkunjung, rumah mereka
adalah rumah saya dan sebaliknya.
Indah bukan ?

Kapal yang ditumpangi pada masa itu 'bukanlah kapal sembarangan' karena pada masanya kapal itu merupakan kebanggaan setiap orang yang menaikinya. Bahkan kapal itu adalah kebanggan negeri ini karena kemewahan dan kegagahannya.
Kebesaran 'armada' itu tergambar dari nama-namanya yang diambil dari nama-nama gunung tertinggi di negeri ini,
KERINCI, KAMBUNA, DOBONSOLO dan RINJANI.
Dan dikapal itu ada kelas-kelasnya, dan masing-masing kelas dibedakan dari jumlah penumpang dalam kamar, fasilitas layanan dan makan.
Dan adalah kenyataan bahwa 'peng-kelasan' di kapal juga mempengaruhi pergaulan di kapal.
Kelas terbaik di kapal itu adalah kelas I, dengan kamar yang sangat luas, berpenghuni dua orang, kamar mandi pribadi, televisi, dan fasilitas makan pagi-siang-malam yang bisa diantar ke kamar.
Kelas yang paling rendah adalah Kelas IV, dengan kamar yang dihuni oleh 8 orang, kamar mandi d luar yang digunakan 'berjamaah' dengan kamar yang lain, namun makan di ruang makan yang cukup baik tanpa antri.
Dibawah kelas IV ada sebuah kelas namanya Kelas Ekonomi, dimana penumpangnya ditempatkan di sebuah barak mirip militer, dan satu barak itu ditempati kira-kira 400 orang, dan penumpang kelas ekonomi ini juga diberi makan layaknya tahanan, ngantri berjejer ratusan meter melingkar dan piring makannya pun persis seperti piring makanan tahanan.
Untuk mendapatkan makan saja perlu antri paling sebentar 1 jam Dan pada jam-jam mandi suasana kamar mandinya persis seperti suasana permandian 'di pancuran'
Rame! & Jorok!
Terbayang hiruk pikuknya kehidupan selama 4 hari - empat malam disana. Kasar, kotor dan keras !
Karena setiap orang harus menjaga barangnya sendiri, dan lenggah sedikit berarti kehilangan harta.
Jadi sangat beruntung orang yang berangkat tidak hanya sendiri, apalagi serombongan !
Dan setiap waktu ketika jenuh melanda bisa jalan-jalan mengelilingi kapal tanpa kuatir barang hilang.

Pada masa itu, kami keluarga yang cukup berada dan terpandang di desa Tawiri, Kecamatan teluk Ambon Baguala, Kotamadya Ambon.
Jaraknya 40 kilometer engan perjalanan darat, namun kurang dari 3 Km dari perjalanan laut karena diseberang teluk dimana kami tinggal adalah Kota Ambon.

Dibanding temen-teman seasal yag bahkan ada tidak bisa pulang sampai lulus karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan, saya termasuk anak yang beruntung. Sesulit-sulitnya keadaan, Ibu selalu mengirimkan saya uang untuk pulang ke ambon setiap liburan semester dan Idul Fitri.
Betapa Ibu, tahu bahwa anak lelakinya ini berusaha melewati hari-hari menahan rindu padanya.

Hampir setiap dua minggu Ibu mengirim surat bercerita tentang keadannya yang 'selalu baik-baik' saja dan menceritakan betapa beliau sangat rindu pada saya. Membaca surat Ibu benar-benar selalu 'mengharu biru' karena ketika membaca surat Ibu, seakan-akan Ibu bicara langsung pada saya dan menatap dengan penuh rindu dan cinta.
Dan sebulan sekali Ibu mengirimi saya rendang, dan setiap memakannya, air mata mengalir karena 'rendang' itu adalah makanan yang jarang ada dirumah dan memakannya adalah sebuah kemewahan.
Memang harus saya akui bahwa saya sangat mengasihi perempuan berhati mulia itu, dan sepanjang hidup saya selalu merindukannya.
Tak ada yang lebih membahagiakan saya selama hidup di Bumi ini kecuali bertemu dengan Ibu sepanjang hari, mencium tangan, pipi dan keningnya ketika pamit kerja dan melihatnya tersenyum bahagia.
Kelak jika ada rezeki dari ALLAH, saya ingin mengajak Ibu naik haji, berkunjung ke rumah ALLAH, dan di depan 'rumah-NYA saya berdoa,
'Ya ALLAH, panjangkan umurnya, bahagiakanlah hidupnya, jauhkanlah dari sakit dan susah'.

Ibu tahu kondisi kapal, maka Ibu selalu mengirimkan uang untuk membeli tiket kelas IV yang waktu itu seharga Rp 152 Ribu,
kalo dibanding Kelas Ekonomi Rp 66 Ribu cukup signifikan berbeda.
Sebetulnya sangat mewah karena makannya teratur tak perlu antri, kamar mandinya bersih, tempat tidur yang 'tak berebut' dan yang penting barang bawaan aman karena setiap orang diberi lemari yang memiliki kunci.
Namun hal yang satu ini, saya terpaksa tidak menuruti keinginan Ibu dan lebih memilih bejubel naik Kelas Ekonomi, karena saya sangat tahu betapa uang itu penuh dengan keringat dan air mata Ibu.

Dan selisihnya Rp 96Rb bisa saya belikan oleh-oleh buat Ibu, dan saudara-saudara saya.
Hingga kini Ibu tak pernah tahu hal ini, karena memang saya simpan rapat-rapat. Namun bukan hanya itu, saya sangat menikmati kebersamaan di barak itu, mengenal banyak orang, melatih kesabaran puasa dengan menjadi bagian dari antrian makanan yang beratus meter itu, saat sahur dan berbuka.
Bersilaturahim dengan semua umur, dan alhamdulillah saya menikmati perjalanan itu dan 'menjadi artis' karena selalu dikerubutin penumpang, terutama kalangan Ibu-Ibu dan para gadis.

' Keajaiban-Keajaiba n' pun muncul di barak itu.
Menjadi kesayangan semua orang, para Ibu selalu menawarkan makanan yang mereka bawa dan kalaupun antri, banyak yang mau mengantrikan makanan buat saya.
Barang-barang bawaan saya pun aman, karena dijaga oleh empat ratus orang !
Hahahaha ...

fasilitas yang jauh melebihi kelas apapun di kapal itu, karena ketika sahur, berbuka dan taraweh selalu dijalani bersama-sama dengan orang-orang yang 'mendadak saudara'.
Hari-hari itu indah dalam kenangan, penuh dengan tawa, canda dan cerita. Dari sana saya banyak belajar tentang hidup yang sesungguhnya, dan belajar bagaimana mengatasi setiap problema hidup.
Bersambung


Fr: eri (uje_jamaah@yahoogroups.com)

Kenang - Kenangan Hidup >> Pengantar

Ternyata tulisan saya yang diberi judul " Kenang-Kenangan Hidup "

memberi reaksi yang sangat luas, dan Puji syukur hampir semuanya positif.

Beberapa diantaranya meminta saya memberikan beberapa catatan diakhir tulisan sebagai
buah pikiran, yang mudah-mudahan bisa menjadi solusi.

Namun karena keterbatasan pengetahuan saya pada Agama, akhirnya catatan itu hanyalah
ujaran dari pokok-pokok pikiran.

Atas saran beberapa rekan, saya muat kembali tulisan ini yang pernah dimuat setahun lalu di miling list ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Dari 'Bumi Jihad' Ambon, dimana saya kini berada, kembali saya rilist tulisan ini dengan revisi disana-sini.

Mudah-mudahan dari sini kita bisa belajar, bahwa selama kita mau menjalankan semua ajaran langit, berdasarkan keyakinan yang kita miliki, maka kedamaian ada dimana-mana.

Dan jika kedamaian itu diracik dengan ketulusan, kebersamaan dan penuh rasa syukur,
maka alangkah indanya hidup ini.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk temen-temen saya, yang 'telah syahid' di Bumi Jihad, yang jumlahnya hampir tak terhitung. Namun kenangan mereka selalu hidup dalam ingatan saya sepanjang hayat.

Semoga di syurga kelak kita bisa bertemu, dan kembali bersahabat.

Dan persahabatan kita saat itu, HANYA KARENA ALLAH !


Hari ini Lebaran !

Sebuah hari yang dijanjikan dan dianugerahkan ALLAH hanya bagi orang-orang yang menang. Dan siapa orang-orang yang menang itu ?

Hanya ALLAH saja yang tau, karena manusia tidak memiliki kekuasaan untuk menilai sebuah ibadah, keikhlasan dan segala sesuatu yang menyangkut aturan termasuk shalat, puasa, zakat dan haji.

Bagi setiap insan dan hampir setiap muslim, Idul Fitri itu adalah sebuah hari yang begitu dinantikan, puncak dari sebuah penantian bagi orang-orang yang sebulan penuh menahan segala napsu, termasuk didalamnya menahan haus dan lapar.

Namun apakah setiap orang yang sukses melewati 30 hari berpuasa itu secara online dapat dikatakan telah kembali ke fitrah ?

Hanya ALLAH yang tahu, karena dialah yang memiliki kekuasaan atas manusia, bumi dan langit.
Sungguh ALLAH itu maha baik, dan DIA menyukai hal-hal yang baik.


Tuan-tuan yang mulia,
Idul Fitri, hari kemenangan dan penuh dengan kemuliaan itu telah menorehkan catatan tersendiri dalam hidup saya.

Catatan itu tertoreh melekat dalam dasar jiwa, menjadi catatan hidup, kenangan dan ingatan sepanjang hayat.

Hingga kini saya masih menyimpan harap, agar catatan itu diakhirat nanti ' menjadi bahan obrolan ' dengan si pemilik hidup, ALLAH AZZA WAJA'LA.

Cerita berikut ini, saya ambil dari catatan tentang kejadian Idul Fitri 7 tahun lalu di kota Ambon yang diwarnai kerusuhan.

Banyak yang bisa kita petik dari kejadian itu, dan mudah-mudahan ada marifat yang bisa diambil.

Dan tak bosan-bosannya, saya mengajak anda semua untuk membantu Ibunda Jupiter, yang sedang Berjuang melawan Kanker Hati.

Bayangkan disaat hari yang fitri, kita bergelimang dan memiliki kelebihan rezeki...

disuatu tempat yang jauh ada seorang anak yang berjuang untuk Ibu dan kedua adik perempuan yang sangat dicintainya.

Saatnya kita membuka nurani kita untuk membantu sesama dan menafkahkan harta yang kita miliki di jalan yang seharusnya.

Dan saya yakin ALLAH akan membalasnya, sebanyak yang DIA janjikan.

Bantulah Jupiter menyelamatkan Ibunya, karena Ibu bagi mereka begitu besar artinya
dibanding apapun di dunia.

Dan saya akan berterima kasih jika ada yang ikhlas membantu, paling tidak dengan doa.


Fr: eri (uje_jamaah@yahoogroups.com)

Agustus 19, 2008

CARA MEMBIASAKAN OPTIMISME

Optimisme ataupun pesimisme adalah kebiasaan cara berpikir. Yakni
cara berpikir yang sudah terbentuk dalam saraf. Karena itu
mengubahnya cukup sulit dan perlu proses. Tapi kalau pengen "enjoy
your life" ya nggak ada pilihan kecuali mengubah saraf pesimisme
menjadi optimisme.

Caranya sih gampang, sekali lagi yang sulit itu membiasakannya.
Kebiasaan kan terbentuk dari perilaku yang terus diulang-ulang, jadi
mau nggak mau perlu proses. Tapi ingat lho, ini sulit, bukan
mustahil. Tidak ada perubahan yang mustahil, ini hanya sulit saja.
Dan orang optimisme akan tertantang menghadapi kesulitan.

Optimisme atau pesimisme tercermin dari respon spontan kita terhadap
peristiwa yang menimpa kita, baik terlintas dalam hati ataupun
diucapkan. Pokoknya respon spontan mencerminkan sikap hati kita yang
sebenarnya. Nabi sendiri mengisyaratkan hal ini ketika
bersabda: "Sesungguhnya, kesabaran sejati terlihat ketika pertama
kali mendapat musibah". Maksudnya antara lain kalo kebetulan orang
itu penyabar, maka sifat sabarnya akan tampak pada sikap/respon
spontannya. (Sabar dan tabah adalah bagian dari optimisme).

Kita ambil contoh. Fren misalnya biasa dapat nilai matematik nggak
jauh dari 5 (ini juga udah bagus sih, namanya juga matematik). Tiba-
tiba ayah/ibu Fren menantang, "Sebenarnya lo bisa nggak sih
matematik? Bisa nggak sih kali-kali dapat 7 apa 8 gitu loh." Spontan
Fren berkata (dalam hati atau diucapkan). "Wah sulit, tapi bisa gue
coba." atau Fren berkata, "Wah gimana ya, 5 aja untung."

Fren tentu tahu mana komentar spontan yang optimis dan mana yang
pesimis. Sekarang biar Fren terbiasa berpikir optimis, setiap kali
mendapati komentar negatif yang dalam diri Fren, segera pertanyakan
komentar negatif itu. 'Wah, gimana ya, 5 aja ada faktor untung."
Segera pertanyakan, "Apa betul karena untung saja, atau karena ada
faktor untung? Jangan-jangan itu pertanda gue bisa, soalnya kan gue
belom coba latihan maksimal banget." Pokoknya setiap ada respon
negatif dari dalam diri, tentang apa saja, seger pertanyakan dan
sanggah dengan respon positif. Lama-lama insya Allah Fren akan
terbiasa dengan berpikir optimisme.

Sekarang coba sesekali pertanyakan tentang anggapan-anggapan yang
menumpuk dalam diri Fren tentang diri sendiri. Anggapan-anggapan
yang menetap di kepala Fren sendiri dan hanya Fren yang tahu. Kalau
ada yang negatif coba dikit-dikit kikis dari saraf Fren, insya Allah
Fren akan makin optimis dan enjoylah hidup Fren.

Ustadz Jefri Al-Bukhori


www.ujecentre.com

Tanda-tanda Lemah Iman

1. Terus menerus melakukan dosa dan tidak merasa bersalah
2. Berhati keras dan tidak berminat untuk membaca Al-Qur'an
3. Berlambat-lambat dalam melakukan kebaikan, seperti terlambat
untuk melakukan shalat
4. Meninggalkan sunnah
5. Memiliki suasana hati yang goyah, seperti bosan dalam kebaikan
dan sering gelisah
6. Tidak merasakan apapun ketika mendengarkan ayat Al-Qur'an
dibacakan, seperti ketika Allah mengingatkan tentang hukumanNya dan
janji-janjiNya tentang kabar baik.
7. Kesulitan dalam berdzikir dan mengingat Allah
8. Tidak merasa risau ketika keadaan berjalan bertentangan dengan
syari'ah
9. Menginginkan jabatan dan kekayaan
10. Kikir dan bakhil, tidak mau membagi rezeki yang dikaruniakan
oleh Allah
11. Memerintahkan orang lain untuk berbuat kebaikan, sementara
dirinya sendiri tidak melakukannya.
12. Merasa senang ketika urusan orang lain tidak berjalan semestinya
13. Hanya memperhatikan yang halal dan yang haram, dan tidak
menghindari yang makruh
14. Mengolok-olok orang yang berbuat kebaikan kecil, seperti
membersihkan masjid
15. Tidak mau memperhatikan kondisi kaum muslimin
16. Tidak merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu demi
kemajuan Islam
17. Tidak mampu menerima musibah yang menimpanya, seperti menangis
dan meratap-ratap di kuburan
18. Suka membantah, hanya untuk berbantah-bantahan, tanpa memiliki
bukti
19. Merasa asyik dan sangat tertarik dengan dunia, kehidupn duniawi,
seperti merasa resah hanya ketika kehilangan sesuatu materi
kebendaan
20. Merasa asyik (ujub) dan terobsesi pada diri sendiri


Hal-hal berikut dapat meningkatkan keimanan kita:

1. Tilawah Al-Qur'an dan mentadabburi maknanya, hening dan dengan
suara yang lembut tidak tinggi, maka Insya Allah hati kita akan
lembut. Untuk mendapatkan keuntungan yang optimal, yakinkan bahwa
Allah sedang berbicara dengan kita.

2. Menyadari keagungan Allah. Segala sesuatu berada dalam
kekuasaannya. Banyak hal di sekitar kita yang kita lihat, yang
menunjukkan keagunganNya kepada kita. Segala sesuatu terjadi sesuai
dengan kehendakNya. Allah maha menjaga dan memperhatikan segala
sesuatu, bahkan seekor semut hitam yang bersembunyi di balik batu
hitam dalam kepekatan malam sekalipun.

3. Berusaha menambah pengetahuan, setidaknya hal-hal dasar yang
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara berwudlu dengan
benar. Mengetahui arti dari nama-nama dan sifat-sifat Allah, orang-
orang yang bertakwa adalah mereka yang berilmu.

4. Menghadiri majelis-majelis dzikir yang mengingat Allah. Malaikat
mengelilingi majels-majelis seperti itu.

5. Selalu menambah perbuatan baik. Sebuah perbuatan baik akan
mengantarkan kepada perbuatan baik lainnya. Allah akan memudahkan
jalan bagi seseorang yang bershadaqah dan juga memudahkan jalan bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan. Amal-amal kebaikan harus
dilakukan secara kontinyu.

6. Merasa takut kepada akhir hayat yang buruk. Mengingat kematian
akan mengingatkan kita dari terlena terhadap kesenangan dunia.

7. Mengingat fase-fase kehidupan akhirat, fase ketika kita
diletakkan dalam kubut, fase ketika kita diadili, fase ketika kita
dihadapkan pada dua kemungkinan, akan berakhir di surga, atau
neraka.

8. Berdo'a, menyadari bahwa kita membutuhkan Allah. Merasa kecil di
hadapan Allah.

9. Cinta kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala harus kita tunjukkan
dalam aksi. Kita harus berharap semoga Allah berkenan menerima
shalat-shalat kita, dan
senantiasa merasa takut akan melakukan kesalahan. Malam hari sebelum
tidur, seyogyanya kita bermuhasabah, memperhitungkan perbuatan kita
sepanjang
hari itu.

10. Menyadari akibat dari berbuat dosa dan pelanggaran. Iman
seseorang akan bertambah dengan melakukan kebaikan, dan menurun
dengan melakukan
perbuatan buruk.

11. Semua yang terjadi adalah karena Allah menghendaki hal itu
terjadi. Ketika musibah menimpa kita, itupun dari Allah.

Fren....Inilah lemahnya hati manusia yang selalu mengerogoti ditubuh
kita. Tetapi dengan lemahnya hati ini kita semakin lebih dekat lagi
& percaya bahwa adanya "ALLAH AZZA WA JALLA" yang selama ini telah
memberikan berbagai karunia, nikmat bagi umat manusia... Fre...
Sekarang kita harus berpikir maju untuk kebahagian di dunia & ke
tempat yang terakhir, "KEMATIAN".

UJE

www.ujecentre.com

Kekurangan Bantu Wujudkan Cita-Cita

Kekurangan Bantu Wujudkan Cita-Cita

Kalau kita lagi sering pesimis, pikiran biasanya hanya terpaku
kekurangan-kekurangan diri saja. Kekurangan ini begitu terasa
menyiksa. Kalau kita pikir, yang menyiksa sebenarnya bukan
kekuranga, melainkan sikap pesimisme itu.

Sebaliknya, kekurangan bila dihadapi dengan sikap optimisme, malah
itulah yang bisa jadi mengantarkan seseorang pada cita-cita. Banyak
orang sukses karena terpicu oleh keadaan yang serba kurang. Banyak
orang sukses yang sewaktu kecilnya jualan koran, jualan es dan kue
sebagainya.

Wlliam James bekata, "Kekurangan kita seringnya membantu kita sampai
pada tingkatan yang tak terbayangkan. Kalau Dostoyevski dan Tolstoy
tidak menjalani hidup yang penuh penderitaan, mereka takkan mampu
menuliskan karya-karya mereka yang abadi. Karena itu, menjadi anak
yatim, buta, miskin, atau jauh dari rumah dan dari segala kenyamanan
adalah kondisi yang mungkin menuntun kita menuju cita-cita dan
prestasi, menuju kemajuan dan distribusi."

Kenyamanan dan serba ada bisa menjebak kita jadi manja. Sebaliknya
kekurangan yang ditabahi sudah pasti membuat kita prihatin dan
gigih, satu sifat yang makin diakui ilmu modern lebih menentukan
kesuksean dibanding kecerdasan sekalipun.

UJE

www.ujecentre.com

Syukur dan Sabar

Fren, sampai di sini mungkin kita masih penasaran, apa bisa orang
yang ditimpa musibah seperti Arthur gembira seperti itu? Apa ini
tidak sedikit so munafik? Mungkin saja lisan dan raut mukanya tampak
gembira, tapi hati kecilnya tetap tak bisa memungkiri rasa sedihnya
menanggung derita tak terkira?

UJE setuju hati kecil tak bisa diingkari. Dan ketika kita ditimpa
musibah, dirundung duka, tentu hati kecil kita merasa sedih. Hanya
saja, rasa sedih itu tidak sampai mengalahkan rasa syukurnya. Dengan
kata lain, rasa syukurnya lebih atau jauh lebih besar dari rasa
sedihnya, sehingga dia bisa tampak tetap gembira.

Jadi, rasa gembira Arthur bukan sebuah kemunafikan, melainkan gejala
dari menangnya rasa syukur atas rasa sedihnya.

Ucapan yang biasa Nabi SAW ucapkan ketika susah, yakni alhamdulillah
ala kulli hal (Segala puji bagi Allah bagaimanapun keadaannya),
jelas membersitkan bahwa hati kecil beliau pun tetap merasa sedih
atas kesusahan yang menimpa beliau, namun rasa syukurnya tang lebih
dominan tetap mendorong hati beliau untuk meluncurkan kata-kata
pujian seperti ini. Jadi sekali lagi masalahnya bukan hati kecil
yang bersedih atau tidak, tapi soal apakah rasa syukur seseorang itu
bisa mengalahkan rasa sedihnya atau tidak.

Untuk sampai pada tingkat ini memang sangat berat, dan perlu terus
dan terus berlatih. Karena itu agama pun tidak mewajibkan tingkat
mental seperti ini. Agama menganjurkan, kalau kita tidak bisa
lapang, ridha atau rela ketika ditimpa musibah, minimal kita bisa
sabar menerimanya. Untuk sabar seperti ini pun perlu proses
pembelajaran yang terus menerus.

Sebenarnya dalam rasa sabar sendiri sudah terkandung rasa pasrah
atau rela menerima takdir, hanya kadarnya saja mungkin yang berbeda.
Pada tingkat syukur atau ridha ketika menderita, rasa rela sangat
besar dan amat dominan. Sedang pada tingkat sabar, rasa rela itu
cukup dominan.

UJE

www.ujecentre.com